Wednesday 27 April 2016

Clarity is Key to Team Productivity

Our verbal and listening habits have a direct effect on our productivity and our professional outcomes. These engagement habits can lead to wasteful debates over false choices and choke off relevant business facts. When ideas and facts flow easily and teams engage in authentic business-driven discussions, productivity and results soar. Try these three magic words to improve communication and increase performance, transparency, decision quality and your team’s productivity.

1. Start with YES to encourage information flow.

Engage in a way that signals others you’re open to considering their ideas, facts and input. It is jarring when someone’s first answer is no — “no, we can’t do that” or “no, we don’t have the budget.” While there are instances where there is no budget, sometimes the “instant no” is more habit than business fact. The result is often a dead stop in the progression of discussion. Productivity is further hampered if people anticipate your stance is a “no” and avoid bringing forward information or ideas altogether. Observe your communication this week and see how often your starting perspective is “no,” how often it's warranted versus habitual and what happens when you shift to “yes.”

2. Assume AND not OR to reach optimal decisions.

Often people assume each new idea supersedes or displaces those expressed before it – my idea or yours, one option or the other when in fact it’s my idea and yours, one option and another.  Without realizing it, we may pit ideas against each other and shut down consideration of additive ideas. This wastes time on false debates rather than advancing toward goals. More importantly, growth usually requires more than one idea, market segment, revenue source, and initiative so the implicit competition may be undermining your real goal. Try using the word “and” in your engagement this week to see if it enriches the fact base for decision-making and productivity of conversations.

3. Ask WHY to signal and ensure you heard.

In dynamic or intense team discussions, asking “why” in response to an idea or fact has three productivity and leadership benefits. First, it signals to the other person that your engagement is authentic. Second, it provides them with an opportunity to share the logic so you genuinely understand. Third, it gives you a pause to consider the idea’s merits before moving on, to frame your “yes and” response, add another “why” or provide a well-considered “no.” In the grand scheme of things, it doesn’t take more management time to be an authentic listener than it does to resolve false debates, dig for facts that people don’t want to share or recover from decisions that were ill informed!
Put these words to work this week to reinforce a team engagement model in which ideas are readily shared, facts are transparent and business decisions are enriched with them.
— The Velocity Gurus @ Workboard

Saturday 23 April 2016

2 WAYS TO BUILD TRUST IN THE WORKPLACE

2 Ways to Build Trust in the Workplace
You’ve likely encountered a situation where you’re unhappy with one of your team members.
The employee may be likeable and even work hard, but the work has problems. Now, you’re wondering if he or she can handle an important project.
At its core, it’s is an issue of trust. Can you trust this individual to get the job done?
Whether you’re dealing with an individual or an entire team, knowing how to build and keep trust is crucial to effective leadership.

1. Break It Down

Part of trusting someone is being familiar with his or her previous work. Trust is built on evidence and consistency.
In the case of your problem employee, think through specific examples of this person’s behavior with which you’re unhappy. Consider:
Infographic: Trust Model venn diagram with Ability, Loyalty, and Integrity
  • Ability. Does this person have the skills and tools needed to do the job? Maybe your problem employee needs skill-specific training or certain resources to perform better.
  • Integrity. Does he or she share the same values and expectations for this project as you do? Managers must be clear about their expectations and make sure employees understand those before a project begins. Along those same lines, team values must also be understood by every member of a team if it is to function well.
  • Loyalty. Based on previous encounters, can the employee confide in you when conflicts arise? Managers need to give loyalty to get it. Without this loyalty, honest communication isn’t possible.
Remember that trust is a two-way street. You must be trustworthy for employees to feel comfortable committing to the team and the project.
If you’re sure that you’ve behaved in a trustworthy fashion, then you can have a candid, productive conversation about your team member’s behaviors.

2. Talk It Through

Once you understand the dimensions of the problem, it’s easier to have an honest conversation with a team member or colleague. Here are some phrases that help start the conversation out in a productive way:
  • “I’d like to talk about something that’s concerning me.”
  • “May we talk about your work on the project?”
  • “I need to explore with you where we are on the project.”
It’s important to address problem behaviors in a way that shows the employee genuine support – demonstrating your loyalty. Then, you can both discuss a solution to the problem – for example, pairing the worker up with a more experienced team member – and set up a method for accountability.
Open discussions between managers and employees about trust set the stage for deeper, more productive conversations about team performance. They also create stronger bonds between leaders and employees.

source: http://insights.ccl.org/articles/leading-effectively-articles/build-trust-in-the-workplace/?utm_content=sf24682665&utm_medium=spredfast&utm_source=facebook&utm_campaign=EC-LE+article+EC-Infographic&sf24682665=1

Friday 22 April 2016

BELAJAR DARI IHH DAN TURKI

Catatan Perjalanan Sekjen Forum Zakat (FOZ) Nasional, Muhammad Sabeth Abilawa di Turki
Ini kali keempat saya menginjakkan kaki di Istanbul, kota yang selalu nampak indah dan unik di mata saya bukan saja karena terletak di dua benua Asia dan Eropa tapi juga dalam arti yang sebenarnya mewakili perpaduan yang harmonis antara timur dan barat. Saya teringat dulu ada sebuah slogan terkenal yang sering diteriakan aktivis muslim “Laa Syarkiyah Wa Laa Ghorbiyah, Islamiyah Islamiyah (Bukanlah timur dan bukan pula Barat, tapi Islam)”, Istanbul malahan berkebalikan dengan slogan itu itu bahkan mewakili ketiganya. Ia adalah Syarkiyah (timur), pun juga Ghorbiyah (Barat) sekaligus Islamiyah (Islam). Istanbul masih mewarisi kebesaran Konstantinopel (Ibukota Romawi Timur) juga tak luntur sisa sisa spirit kekhalifahan Utsmaniyah.
Sepanjang perjalanan tak nampak gegap gempita dan pawai menyambut kemenangan AK Party yang memborong setengah kursi parlemen Turki. Entah karena sudah usai luapan kegembiraan itu atau mungkin juga sesuatu yang sudah diduga oleh sebagian besar rakyat Turki sehingga tak perlu dirayakan atau bisa jadi juga karena “kethawadu’an” AKP yang tak suka hura hura. Bukankah kemenangan politik tidak sama dengan kemenangan sebuah pertandingan bola? Disinilah terlihat betapa dewasanya AKP berpolitik. Yang Nampak hanyalah poster poster ucapan terimakasih dari tokoh tokoh AKP kepada warga Istanbul atas dukungan yang diberikan.
Kalau dulu saya ke Turki untuk menunaikan misi relief dan kemanusiaan, kehadiran saya sekarang ini atas undangan dan fasilitas yang diberikan oleh IHH İnsani Yardım Vakfı, lembaga kemanusiaan di Turki. Bersama dengan 40 peserta lain dari berbagai negara kami berkumpul dengan tajuk International Student Council. Saya pikir awalnya peserta dari kalangan mahasiswa mahasiswa Internasional saja, tak tahunya banyak yang sudah sepuh, para akademisi, dan ulama pemimpin lembaga lembaga dakwah dari berbagai negara dimana Muslim adalah minoritas.
IHH adalah satu fenomena menarik di dunia NGO Islam. Didirikan tahun 1992, berawal dari kepedulian masyarakat muslim di Turki saat pecah perang Bosnia , lembaga ini kemudian berkembang pesat dan melakukan banyak sekali terobosan dan aksi kemanusiaan di berbagai negara. Tentu masih teringat bagaimana Freedom Flotilla sebuah konvoi kapal kemanusiaan berlayar menuju Gaza ditembaki tentara Israel di Tahun 2010. Ini adalah gagasan perlawanan yang cerdas dari lembaga lembaga kemanusiaan yang dimotori IHH terhadap blokade Israel terhadap Gaza.
Di tengah gagalnya perlawanan bersenjata Negara Negara Arab dan perundingan perundingan politik pemimpin pemimpin arab tiba tiba ada yang menawarkan perlawanan nir senjata, nir kekerasan terhadap Israel dari lembaga kemanusiaan pula. Tragedi Mavi Marmara, yang meskipun gagal mencapai daratan Gaza hingga hari ini masih berlangsung sidang gugatan pidana internasional nya dan telah memberi banyak pelajaran kepada Israel.
Di usianya yang ke 23, IHH mengklaim telah melakukan aksi kemanusiaan di 140 Negara, didukung oleh lebih dari 500 staff professional yang bekerja full time, dan mengelola dana publik sebesar 500.000.000 Turkish Lira (2,3 Trilyun Rupiah) pertahun. Jumlah yang lumayan banyak untuk ukuran sebuah lembaga kemanusiaan yang sumber dayanya dari kedermawanan masyarakat.
Huseyn Oruc, vice president IHH di sessi dialog bersama peserta menyampaikan pada dasarnya IHH dibangun atas 3 pilar. Relief sebagai landasan pertama dari aksi aksi IHH, dimana seluruh gerakan IHH adalah misi kemanusiaan yang universal. Sejarah IHH tak bisa dilepaskan dari derita rakyat Bosnia saat mengalami Genosida dari etnis Serbia. Maka gerakan relief yang memiliki perbedaan konsep dengan mentalitas barat harus digelorakan di tengah tengah ummat islam. Oruc mengatakan tidaklah penting seberapa besar yang kita berikan untuk korban korban kemanusiaan tersebut yang lebih penting adalah kehadiran kita yang menjadi pelipur duka mereka apalagi saat ini sebagian besar kalau tak ingin mengatakan hamper semua konflik kemanusiaan dan perang sipil terjadi di negara negara muslim, pastilah ummat islam juga yang menjadi korbannya. Inilah yang menggelorakan IHH hadir di setiap sudut sudut konflik dan derita muslim minoritas yang jauh dari jangkauan.
Pilar kedua adalah Advokasi dan Human Rights. Memang relief itu penting, tapi tidak cukup untuk keberlangsungan hidup jangka panjang. “Yang diperlukan dalam jangka panjang sejatinya adalah membantu menyuarakan kepentingan korban konflik untuk membuka mata dunia agar kebebasan dan lepas dari penderitaan hadir di tengah tengah mereka. Kita perlu bersuara tentang Palestina, Syiria, Afrika Tengah, Rohingya, Pattani, dan nasib Bangsa Moro, bukan sekedar memberi mereka makanan dan selimut di musim dingin” kata Oruc.
Pilar terakhir adalah Humanitarian Diplomacy (Diplomasi kemanusiaan). Lembaga lembaga kemanusiaan Islam harus terlibat bukan hanya merespon keadaan pasca kejadian di tingkat akar rumput tapi juga seharusnya memainkan peranan penting sesuai titah dalam Al Qur’an, ummatan wasathan (wasit, penyaksi, pendamai). Peran Peace Building lembaga lembaga kemanusiaan masih minim dirasakan, entah karena merasa disitu adalah peran Negara atau karena memang belum sampai kapasitasnya.
Saat saya ajukan pertanyaan tentang apakah IHH ada kemungkinan membuka cabang cabangnya di berbagai negara. Cabang yang benar benar membawa nama IHH bukan sekedar relief project yang temporer, dengan lugas Oruc mengatakan bahwa IHH memegang prinsip tidak akan membuka cabang dimana mana. Cukup menumbuh kembangkan kader kader lokal yang akan membangun sendiri lembaganya dan membesarkannya, IHH akan mensuport di awal saja jika diperlukan. Membuka cabang cabang di negara negara muslim yang sudah mapan tradisi civil society nya hanya akan membuka peta “kompetisi” dan menambah beban masalah saja.Lebih baik bekerjasama. Bahkan dengan berseloroh dia menyebut kalau IHH membuka cabang di Indonesia, padahal sudah ada Dompet Dhuafa dengan urusan yang kurang lebih sama maka bagaimana mungkin nanti kita bisa bekerjasama lebih erat?
Bagi lembaga lembaga kemanusiaan Islam khususnya di Indonesia, IHH bisa dijadikan benchmarking. Bagi para aktivis politik yang mengusung Islam sebagai tawaran, AK party juga bisa dijadikan role model tentang bagaimana mengelola negara dan rakyat yang majemuk. Bukankah tantangan dunia Islam saat ini adalah merajut kekuatan diantara ummat islam sendiri . Merobohkan tiran adalah satu hal, hal lain yang belum terbukti adalah mengawal supremasi sipil dan mengantarkan demokrasi tanpa ada pertumpahan darah. Cukup sudah pelajaran dari Libia, Mesir, Syiria dan Yaman yang memberikan gambaran betapa sulitnya mengamalkan ukhuwah islamiyah itu dibanding mengkhotbahkannya. Turki dan Indonesia sudah hampir melalui tahapan itu, tinggal kita berlomba mana yang lebih dulu membawa kesejahteraan dan kedamaian bagi masyarakat.
Dan bagi para pegiat dakwah, model Turki juga boleh dilirik sebagai alternatif, jumlah penduduknya yang besar, kemajemukannya, relasi antara negara dan agama, GDP dan perekonomiannya adalah variabel variabel yang tak jauh berbeda kondisinya dengan Indonesia.
Turki adalah Blue Ocean dalam peta kontestasi dunia Islam saat ini. Kontestasi yang sudah memasuki tahap samudera merah yang berdarah darah. Ya Turki adalah samudera birunya, Birunya sebiru Laut Marmara dan setenang selat Bosporus yang memisahkan Asia dan Eropa.
sumber: http://forumzakat.org/belajar-dari-ihh-dan-turki/

Thursday 21 April 2016

Kartini, Kerinduan pada Cahaya di Tengah Gulita

By Salim A. Fillah
Menelusur berbagai kajian tentang Kartini terkait hubungannya dengan spiritualitas dan Islam, maka setidaknya kita akan menemukan empat sudut pandang;
PERTAMA: Bahwa Kartini adalah seorang Jawa tulen yang sisi spiritualnya pun berkiblat pada apa yang disebut sebagai Kejawen. “Sebagai orang Jawa yang hidup di dalam lingkungan kebatinan”, tulis Artawijaya dalam artikelnya untuk voa-ilsam.com, “Gambaran Kartini tentang hubungan manusia dengan Tuhan juga sama: manunggaling kawula gusti. Karena itu, dalam surat-suratnya, Kartini menulis Tuhan dengan sebutan ”Bapak”. Selain itu, Kartini juga menyebut Tuhan dengan istilah ”Kebenaran”, ”Kebaikan”, ”Hati Nurani”, dan ”Cahaya”, seperti tercermin dalam surat-suratnya berikut ini:
”Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami. Dengan melakukan kebajikan, nurani kamilah yang memberi kurnia.” (Surat Kartini kepada E. C Abendanon, 15 Agustus 1902)
”Kebaikan dan Tuhan adalah satu.” (Surat Kartini kepada Ny Nellie Van Kol, 20 Agustus 1902)
KEDUA: Bahwa Kartini adalah seorang pejuang perempuan yang gerak langkahnya diilhami oleh nilai-nilai Islam. Mereka yang mempercayai pernyataan ini mengajukan bukti dengan mengutip berbagai tulisan Kartini seperti berikut ini;
”Tiada Tuhan kecuali Allah! Kata kami umat Islam, dan bersama-sama kami semua yang beriman, kaum monotheis; Allah itu Tuhan, Pencipta Alam Semesta.” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
“Astaghfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 5 Maret 1902)
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba Allah, Abdullah.” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 1 Agustus 1903)
“Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Allah, tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan.” (Surat Kartini kepada Nyonya Abandanon, 1 Agustus 1903)
“Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia punm ia sebenar-benarnya bebas” (Surat kepada Ny. Ovink, Oktober 1900)
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
“Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” (Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903)
KETIGA: Bahwa Kartini adalah seorang yang sinkretis, pluralis, liberalis; banyak gagasan serta pemikirannya yang dipengaruhi oleh aliran Theosofi, Freemasonry bahkan Yahudi. Tentu saja mengutip tulisan Kartini, pernyataan ini juga tak kurang memiliki bukti;
”Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya, jika tidak pernah ada agama. Sebab agama yang seharusnya justru mempersatukan semua manusia, sejak berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan darah yang sangat ngeri. Orang-orang seibu-sebapak ancam-mengancam berhadap-hadapan, karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan Yang Esa, dan Tuhan Yang Sama.” (Surat Kartini kepada Stella Zehandelaar, 6 November 1899)
”Agama dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali silaturrahmi antara semua makhluk Allah, berkulit putih atau coklat. Tidak pandang pangkat, perempuan atau laki-laki, kepercayan, semuanya kita ini anak Bapak yang seorang itu, Tuhan yang Maha Esa!” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
”Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni. ” (Surat kepada Ny. Abendanon, 14 Desember 1902)
”Ketahuilah nyonya, bahwa saya anak Budha, dan itu sudah menjadi alasan untuk pantang makan daging. Waktu kecil saya sakit keras; para dokter tidak dapat menolong kami; mereka putus asa. Datanglah seorang Cina (orang hukuman) yang bersahabat denan kami, anak-anak. Dia menawarkan diri menolong saya. Orang tua kami menerimanya, dan saya sembuh. Apa yang tidak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar, barhasil dengan “obat tukang jamu”. Ia menyembuhkan saya dengan menyuruh saya minim abu lidi sesaji kepada patung kecil dewa Cina. Karena minuman itulah saya menjadi anak leluhur suci Cina itu, yaitu Santik Kong dari Welahan.” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902)
”Kami bernama orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih. Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah seruan, adalah bunyi tanpa makna…” (Surat Kartini kepada E. C Abendanon, 15 Agustus 1902).
”Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani, maupun Islam, dan lain-lain” (Surat kepada Ny. Van Kol, 31 Januari 1903)
”Kalau orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain.” (Surat kepada E. C Abendanon, 31 Januari 1903)
”Ia tidak seagama dengan kita, tetapi tidak mengapa, Tuhannya, Tuhan kita. Tuhan kita semua.” (Surat Kepada H. H Van Kol 10 Agustus 1902)
”Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tapi kesemuanya itu menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan dan kami sendiri menyebutnya Allah.” (Surat Kartini kepada N. Adriani, 24 September 1902)
”Orang yang tidak kami kenal secara pribadi hendak membuat kami mutlak penganut Theosofi, dia bersedia untuk memberi kami keterangan mengenai segala macam kegelapan di dalam pengetahuan itu. Orang lain yang juga tidak kami kenal menyatakan bahwa tanpa kami sadari sendiri, kami adalah penganut Theosofi.” (Surat Kartini kepada Ny Abendanon, 24 Agustus 1902).
Hari berikutnya kami berbicara dengan Presiden Perkumpulan Theosofi, yang bersedia memberi penerangan kepada kami, lagi-lagi kami mendengar banyak yang membuat kami berpikir.” (Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 15 September 1902).
KEEMPAT: Bahwa Kartini adalah sosok yang diciptakan oleh Belanda untuk menunjukkan bahwa pemikiran Barat-lah yang menginspirasi kemajuan perempuan di Indonesia. Sepertinya ini adalah pendangan kritis yang justru dilontarkan oleh para sejarawan meski dukungan buktinya berupa praduga.
“Kartini adalah sosok yang diciptakan oleh Belanda untuk menunjukkan bahwa pemikiran Barat-lah yang menginspirasi kemajuan perempuan di Indonesia. Atau setidaknya, bahwa proses asimiliasi yang dilakukan kelompok humanis Belanda yang mengusung Gerakan Politik Etis pada masa kolonial, telah sukses melahirkan sosok yang Kartini yang ”tercerahkan” dengan pemikiran Barat.” (Harsja W. Bachtiar, terkutip dalam Artawijaya, voa-islam.com)
”Tak banyak memang ”pahlawan” kita resmi atau tidak resmi yang dapat menggugah keluarnya sejarah dari selimut mitos yang mengitari dirinya. Sebagian besar dibiarkan aman tenteram berdiam di alam mitos—mereka adalah ”pahlawan” dan selesai masalahnya. R. A Kartini adalah pahlawan tanpa henti membiarkan dirinya menjadi medan laga antara mitos dan sejarah. Pertanyaan selalu dilontarkan kepada selimut makna yang menutupinya. Siapakah ia sesungguhnya? Apakah ia hanya sekadar hasil rekayasa politik etis pemerintah kolonial yang ingin menjalankan politik asosiasi?”(Taufik ‘Abdullah terkutip dalam Artawijaya, voa-islam.com)
Analisis Ringkas
PERTAMA: Kartini adalah seorang yang kecewa atas kehidupan beragama kaumnya, yakni muslimin Jawa. Ini ditunjukkan oleh beberapa tulisannya;
Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899)
”Dan, sebenarnyalah saya beragama Islam karena nenek moyang saya beragama Islam. Bagaimana saya mencintai agama saya, kalau saya tidak mengenalnya? Tidak boleh mengenalnya? Al-Quran terlalu suci untuk diterjemahkan, dalam bahasa apapun juga. Disini tidak ada orang tahu bahasa Arab. Disini orang diajari membaca Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap hal itu pekerjaan gila; mengajar orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya. Samalah halnya seperti engkau mengajar saya membaca buku bahasa Inggris dan saya harus hafal seluruhnya, tanpa kamu terangkan arti kata sepatah pun dalam buku itu kepada saya. Kalau saya mau mengenal dan memahami agama saya, maka saya harus pergi ke negeri Arab untuk mempelajari bahasanya di sana.” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899)
“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya. (Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902)
KEDUA: Kartini adalah seorang yang berpikiran maju dan pergaulannya luas.
Dalam pergaulan itu, sahabat-sahabatnya yang orang Belanda tentu juga ada bermacam-macam. Ada yang memang tulus hati, ada yang membawa misi sesuai keyakinan yang dianutnya. Ridwan Saidi seperti terkutip dalam Gerakan Theosofi di Indonesiamencatat, “Kartini banyak bergaul dan melakukan korespondensi dengan orang-orang Belanda berdarah Yahudi, seperti J. H Abendanon dan istrinya Ny Abendanon Mandri, seorang humanis yang ditugaskan oleh Snouck Hurgronye untuk mendekati Kartini. Ny Abendanon Mandri adalah seorang wanita kelahiran Puerto Rico dan berdarah Yahudi.
Tokoh lain yang berhubungan dengan Kartini adalah, H. H Van Kol (Orang yang berwenang dalam urusan jajahan untuk Partai Sosial Demokrat di Belanda), Conrad Theodore van Daventer (Anggota Partai Radikal Demokrat Belanda), K. F Holle (Seorang Humanis), dan Christian Snouck Hurgronye (Orientalis yang juga menjabat sebagai Penasihat Pemerintahan Hindia Belanda), dan Estella H Zeehandelar, perempuan yang sering dipanggil Kartini dalam suratnya dengan nama Stella. Stella adalah wanita Yahudi pejuang feminisme radikal yang bermukim di Amsterdam. Selain sebagai pejuang feminisme, Estella juga aktif sebagai anggota Social Democratische Arbeiders Partij (SDAP).
Nama-nama lain yang menjadi teman berkorespondensi Kartini adalah Tuan H. H Van Kol, Ny Nellie Van Kol, Ny M. C. E Ovink Soer, E. C Abendanon (anak J. H Abendanon), dan Dr N Adriani (orang Jerman yang diduga kuat sebagai evangelis di Sulawesi Utara). Kepada Kartini, Ny Van Kol banyak mengajarkan tentang Bibel, sedangkan kepada Dr N Adriani, Kartini banyak mengeritik soal zending Kristen, meskipun dalam pandangan Kartini semua agama sama saja.”
Tentu saja, dalam sebuah pergaulan, saling mempengaruhi adalah hal tak terhindarkan. Yang jelas, diperlukan telaah lebih lanjut sejauh mana mereka mempengaruhi alam spiritual seorang Kartini. Sebab, Kartini pernah menulis dengan sangat berwibawa:
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902) 
“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 10 Juni 1902)
KETIGA: Kartini adalah seorang yang benar-benar merindukan pemahaman mendalam akan Islam, agamanya, dalam segala keterbatasan dan kekecewaan yang pernah dialaminya.
Dalam sebuah buku kecil yang ditulis oleh Asma Karimah, Tragedi Kartini (2001), terkisah tentang pertemuan Kartini dengan Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang.Kyai Haji Sholeh Darat (demikian ia dikenal) sering memberikan pengajian di berbagai kabupaten di sepanjang pesisir utara. Pada suatu ketika, Kartini berkunjung ke rumah pamannya seorang bupati di Demak (Pangeran Ario Hadiningrat).
Saat itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian tersebut bersama raden ayu yang lain dari balik hijab(tabir). Kartini tertarik dengan pengajian yang disampaikan oleh Kyai Haji Sholeh Darat yang saat itu membahas tentang tafsir Al-Quran Surah Al-Fatihah. Setelah selesai acara pengajian, Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kyai Sholeh Darat.
Berikut ini dialognya seperti ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat.
“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”
Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.
“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Setelah pertemuan tersebut, Kyai Sholeh Darat tergugah untuk menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Qur’an) jilid I yang terdiri dari 13 juz, mulai dari Surah Al-Fatihah sampai dengan Surah Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang, tidak lama setelah itu, Kyai Sholeh Darat meninggal dunia sebelum menyelesaikan penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Nama Kyai Sholeh Darat tidak pernah dituliskan secara eksplisit oleh Kartini dalam surat-suratnya, namun kegembiraan Kartini menerima terjemahan Al-Quran pernah ia tuliskan dalam salah satu suratnya.
”Wahai! Kegembiraan orang-orang tua mengenai kembalinya anak-anak yang tersesat kepada jalan yang benar demikian mengharukan. Seorang tua di sini, karena girangnya yang sungguh-sungguh tentang hal itu menyerahkan kepada kami naskah-naskah lama Jawa. Kebanyakan ditulis dengan huruf Arab. Sekarang kami hendak belajar lagi membaca dan menulis huruf Arab. Kamu barangkali tahu, bahwa buku-buku Jawa itu sukar sekali didapat, karena ditulis dengan tangan. Hanya beberapa buah saja yang dicetak.” (Surat Kartini kepada E.C. Abendanon, 17 Agustus 1902) 
Demikianlah, menilai Kartini secara parsial akan menzhaliminya, apalagi menimbangnya dengan ukuran-ukuran masa kini. Menilainya sebagai kejawen tulen, terbantah dengan progresivitasnya yang luar biasa. Menilainya sebagai pluralis dan liberalis tulen juga keliru, sebab dalam pergaulannya Kartini memang sedang bicara dengan orang yang tak seagama dan sebagai seorang Jawa dia pasti memilih kalimat yang berhati-hati. Menilainya sebagai alat penjajahan untuk politik etis, sungguh mengabaikan pribadi Kartini yang tecermin dalam surat-surantnya benar-benar punya hati tulus yang dihadiahkan untuk kaumnya.
Adilnya, Kartini telah menunjukkan sebuah kehausan dan kerinduan pada cahaya Islam. Meski dia hanya berhasil meraihnya sekilas, tetapi alangkah agung ‘amal jariyahnya jika benar bahwa Kiai Sholeh Darat menuliskan terjemah Al Quran tersebab dialognya dengan Kartini. Itu sudah cukup untuk menjadikannya beroleh pahala tiada putus dari Allah dan penghargaan tinggi dari para mukmin sejati.
Mungkin ada yang keberatan dan menyebutnya sebagai karya kecil; dan bahwa Kartini kemudian disebut masih terlalu banyak menyimpang dari syari’at yang murni. Tentu saja, jika semua pembawa cahaya untuk zamannya ditimbang dengan ukuran masa kini, maka mereka hanya akan menjadi lentera usang penuh noda. Lihatlah Kartini dan ukurlah dengan zamannya ketika da’wah adalah kata yang nyaris asing. Selebihnya, mari berrendah hati untuk mengakui keagungan para pendahulu..

Mengenang Rasuna Said, Singa Betina dari Minang

Sejarah mencatat banyak perempuan hebat di Indonesia. Salah satunya Hajjah Rangkayo Rasuna Said, yang disingkat menjadi HR Rasuna Said. Namanya diabadikan di berbagai sudut negeri, tapi tak semua mengetahui jejak kehebatannya.
Syahdan, dua tahun pasca-Bung Karno dijebloskan ke Penjara Sukamiskin, Bandung, Pemerintah Hindia Belanda kembali mendapatkan perlawanan karena memenjarakan Hajjah Rangkayo Rasuna Said. Orator ulung ini ditangkap tahun 1939, saat usianya baru menginjak 22 tahun.
Penangkapan Rasuna Said sempat menjadi bahasan utama surat kabar yang terbit saat itu. Pendiri Persatoean Moeslimin Indonesia (PERMI) pada 1930 ini ditangkap karena alasan hate speech (ujaran kebencian) pada pemerintah Belanda.
Ini menjadi kasus pertama pemerintah Belanda memenjarakan perempuan dengan alasan speek delict. Siapa pun yang berbicara menentang Belanda dapat diberi sanksi.
Sejarawan Universitas Andalas Prof Gusti Asnan mengatakan kemampuan berorasi Rasuna Said luar biasa. Hal ini yang membawa perempuan kelahiran Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada 14 September 1910 itu layak menyandang gelar Singa Podium.
"Kalau mendengar Rasuna Said berpidato, sangat mempesona, sulit untuk beranjak," kata Gusti Asnan pada Liputan6.com, Selasa, 19 April 2016.
Kemampuan ini yang membawa Rasuna Said selalu dikuntit polisi mata-mata Belanda, Politike Inlichtingen Dienst (PID). Tak jarang, dalam setiap pidato di depan umum maupun rapat PERMI, anggota PID kerap memantau dan menghentikannya.
Hingga puncaknya, saat berpidato di Payakumbuh dalam rapat umum PERMI, Rasuna Said ditangkap dan diajukan ke pengadilan. Pengadilan kolonial menjatuhi hukuman 1 tahun 2 bulan yang kemudian diasingkan di Penjara Bulu, Semarang. Karena sikapnya yang kritis itu, dia mendapat julukan Singa Betina.
Menurut Gusti, gerakan yang dibangun Rasuna Said tidak sebatas pada tatanan politik menentang kolonialisme. "Rasuna Said konsisten memperjuangkan kaum marginal, perempuan," kata Gusti
Hal menarik dari perjalanan politik Rasuna Said adalah konsistensinya dalam jalur politik berbasis nasionalisme, Islam, dan memperjuangkan kaum perempuan.
"Ini dipertahankannya hingga tahun 1950-an. Beliau tidak pernah berubah," kata Gusti.
Keinginannya menepis perlakuan buruk terhadap perempuan ditunjukkan lewat aktivitasnya di bidang politik hingga pendidikan.
"Pidato politiknya tidak hanya menyerang kolonial, tapi juga ketidakadilan terhadap perempuan, dibabat semuanya. Kritis sekali," ujar Gusti.
Kemampuan pidato Rasuna Said juga ditunjukkannya lewat tulisan. Ia tercatat pernah dua kali memimpin media cetak, yakni majalah Raya dan majalah mingguan Menara Poetri.
Majalah Raya yang dibentuknya 1935 menjadi tonggak perjuangan di Sumbar. Karena kerap menyudutkan pemerintah Belanda, majalah ini pun tak bertahan lama.
Di Medan, Rasuna Said menerbitkan Menara Poetri yang akhirnya gulung tikar karena persoalan keuangan. Ia juga dikenal sebagai guru di Diniyah Putri yang kemudian aktif berpolitik. Ia sadar, perjuangan kaum marginal tidak cukup hanya menggeluti dunia pendidikan, tapi juga politik.
Karier politiknya dimulai dari di Sarekat Rakyat (SR) sebagai sekretaris cabang. Ia kemudian bergabung di Soematra Thawalib dan mendirikan (PERMI) di Bukittinggi, setelah berhenti dari Diniyah Putri tahun 1930.
"Mengingat Rasuna Said, yang ada dalam kepala saya, PERMI: daerah (lokal), Islam, dan nasionalisme," ujar Gusti.
Pasca-kemerdekaan, Rasuna Said diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat RIS. Sebelum meninggal pada 2 November 1965 dalam usia 55 tahun, Rasuna Said dipercaya menjadi Dewan Pertimbangan Agung.
Ia meninggalkan seorang putri, Auda Zaschkya Duski, dengan enam orang cucu: Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh Ibrahim, Moh Yusuf, Rommel Abdillah dan Natasha Quratul'Ain.
Rasuna Said dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 1974.

sumber: http://regional.liputan6.com/read/2488153/mengenang-rasuna-said-singa-betina-dari-minang?p=1

Wednesday 20 April 2016

Business War : Taman Kematian bagi Bad Management Skills


Padang kurusetra bernama perang bisnis itu selalu saja meninggalkan duka bagi mereka yang terluka. Microsoft sudah lama mengalami stagnasi. Dell kini limbung setengah kolaps. Produsen printer raksasa Hewlett Packard seperti prajurit pikun yang bingung mau kemana. Nokia terpanah penuh luka. Dan Sony terus saja mengalami pendarahan.
Kalimat yang biasanya segera bergema adalah ini : mereka semua tertatih-tatih dalam padang peperangan lantaran gagal melakukan inovasi, right? Wrong. Sejarah panjang tentang laga kompetisi bisnis dengan jelas menunjukkan bahwa ini bukan soal kegagalan inovasi. Ini juga bukan soal lemahnya R&D, lemahnya kreativitas, atau product development yang abal-abal. Bukan.

Itu semua adalah soal kegagalan manajerial. Soal buruknya management capabilities. Soal management skills yang sekarat.
Apakah orang Apple lebih pintar dan kreatif dibanding orang Microsoft? Tidak. Dan apakah orang Sony lebih bodoh dibanding orang Samsung? Sama sekali tidak. Again : disini bukan soal creative or not, soal smart or not.

Tulisan pagi ini mau membedah soal itu : sepotong kisah tentang raksasa yang terluka lantaran kegagalan manajerial.

Disini mungkin kita bisa menengok sejarah tentang betapa sebuah perusahaan amat hebat dalam soal riset dan kepandaian teknikal, namun tetap saja menjadi medioker (kinerjanya pas-pasan).

Disini kita layak mengenang legenda Xerox dengan Palo Alto Research Center-nya (PARC) pada tahun 70-an. Jika Anda sekarang happy dengan icon-icon yang menghiasi layar laptop Anda, merekalah yang menemukannya. Begitu juga dengan mouse yang sekarang Anda pakai.

(Teknologi icon yang dibikin PARC langsung membuat Steve Jobs saat itu tertegun, lalu “mencuri” serta menjiplaknya untuk Apple. Ketika dikecam, dengan tenang Jobs berkilah, sambil mengutip kalimat Pablo Picasso : good artists copy, great artist steal. Hoho. Jadi amat ironis kalau sekarang Apple menggugat Samsung dengan tuduhan mencuri. Sebab Apple dulu juga pencuri paling ulung).

Btw, yang mau dikatakan disini adalah : Xerox sama sekali tidak pernah menjadi perusahaan gadget dan komputer yang hebat, meski mereka punya periset-periset dashyat. Kenapa? Karena top manajemen Xerox tidak punya visi yang jernih, dan kapabilitas untuk mendayagunakan temuan itu untuk menjadi great products.

IBM di tahun 90-an punya kisah yang sama. Mereka saat itu punya portofolio paten paling top. Tapi kinerja bisnisnya semaput sebelum diselamatkan CEO hebat bernama Lou Gertsner : dengan kepiawaian manajerialnya, ia membuat IBM can dance again (Lou kemudian menulis buku bagus berjudul Who Says Elephant Can Dance : Inside IBM’s Historic Turn-around).

Sekarang kita menyaksikan kisah itu berulang pada Microsoft, Hewlett Packard (HP), Dell dan Sony. Ini semua perusahaan dengan engineer dan programmer kelas wahid plus pusat riset yang dahsyat. Namun semua limbung lantaran kegagalan top leaders-nya dalam mendemonstrasikan kecakapan manajerial yang menjulang (visioning, resource allocation, taking risk, dan strategic decision making).

Ada dua pelajaran penting yang bisa diserap disini. Pertama, management capabilities, terutama dari top management level (or board of directors) selalu menjadi penentu kemajuan/kemunduran perusahaan. Beragam kasus dan sejarah tentang bangkit dan jatuhnya perusahaan-perusahaan raksasa menunjukkan betapa krusialnya peran CEO and BOD (board of directors) dalam memetakan laju bisnis.

Jadi kalau ada yang bilang sebuah perusahaan buruk kinerjanya lantaran kinerja karyawan-nya buruk; ini salah. Yang lebih sering bukan karena mutu karyawannya, namun mutu top leadersnya (atau mutu CEO-nya). Tentara benar waktu bilang : tak ada prajurit yang salah, yang salah adalah komandannya.

Pelajaran kedua : bad succession planning. Majalah bisnis Fortune menyebut masalah succession planning (atau pergantian CEO dan level Direksi) merupakan problem besar bagi banyak perusahaan raksasa. Dan harus dikatakan : perusahaan seperti Microsoft, Sony, Hewlett Packard amat buruk dalam soal ini (HP bahkan harus mengganti CEO-nya empat kali hanya dalam waktu lima tahun).

Hanya tantangannya : menemukan top leader dahsyat seperti Steve Jobs, Bill Gates atau Robby Djohan, Teddy Rachmat (mantan CEO Astra) dan Cacuk Sudariyanto (mantan CEO Telkom yang legendaris) bukanlah hal yang mudah. Karena itu, untuk memastikan regenerasi top leaders yang handal, good succesion planning process mesti segera dijalankan dengan seksama.

Sebab management capabilities dari top leaders-lah yang akan menjadi penentu paling krusial bagi lestarinya kejayaan sebuah bisnis.

Padang kurusetra, tempat perang bisnis digelar, selalu akan ada disana. Tanpa managerial capabilities yang andal, sebuah perusahaan bisa terkoyak dan pelan-pelan gugur : menyisakan bau asap kemenyan yang amat memilukan.
- See more at: http://strategimanajemen.net/2012/09/17/business-war-tanah-kematian-bagi-bad-management-skills/#more-1175

Tuesday 19 April 2016

The essential foundations of fundraising. Twenty-nine basic principles of our trade

WRITTEN BY
Ken Burnett

There are no absolute rules in fundraising and slavish adherence to formulate will win no donors, but there are some basic principles that you will find to be consistent and helpful in virtually every fundraising endeavor. Here, in summary, are the basics of fundraising, key principles that no advances in technology or development will change:
  1. People give to people. Not to organisations, mission statements, or strategies.
  2. Fundraising is not about money. It’s about necessary work that urgently needs doing. Money is the means to an end.
  3. Fundraisers need to be able to see things through their donors’ eyes. Or, to put themselves in their donors’ shoes.
  4. Fundraisers need to really understand their donors. If they are to understand you, you must first understand them.
  5. It helps if you are a donor yourself. No one should be a fundraiser without first being a donor.
  6. Friend-making comes before fundraising. Fundraising is not selling. Fundraisers and donors are on the same side.
  7. Fundraising is about needs as well as achievements. People applaud achievement, but will give to meet a need.
  8. Fundraisers need to learn how to harness the simple power of emotion. Fundraising has to appeal first to the emotions. Logic can then reinforce the appeal.
  9. Offer a clear, direct proposition people can relate to. For example, ‘make a blind man see. £10.00’.
  10. First open their hearts and minds. Then you can open their wallets.
  11. Don’t just ask people to give. Inspire them to give. Fundraising is the inspiration business.
  12. Share your problems as well as your successes with your donors. Honesty and openness are usually prized more highly than expert opinion and apparent infallibility.
  13. Bring the need close to the donor. To help this idea stick I was taught the adage ‘One needy old person next door equals ten needy old people in Manchester equals 100 needy old people in Maharashtra.’ (Of course I was living in London at the time. If you live in India, then it would be the other way round).
  14. You don’t get if you don’t ask. Know whom to ask, how much to ask for, and when.
  15. Present your organisation’s ‘brand’ image clearly and consistently. It’ll pay you if your donors can readily distinguish your cause from all the others.
  16. Successful fundraising involves storytelling. Fundraisers have great stories to tell and need to tell them with pace and passion so as to inspire action.
  17. Great fundraising is sharing. Share your goals and encourage full involvement. When donors become truly involved in your campaign, great things happen. Share your problems too, as well as your successes.
  18. Always try to turn complaints into support. The most loyal donor is the donor who has complained and has then been satisfactorily responded to.
  19. The trustworthiness of a fundraiser and his/her organisation is a reason both to start and to continue support. Trust appears to increase in importance, as people get older.
  20. Great fundraising requires imagination. Too much fundraising looks like everything else.
  21. Great fundraising is getting great results. If your results are mediocre, your fundraising probably is too.
  22. Always be honest, open and truthful with your donors. Donors will not forgive you if you are less than straight with them.
  23. Avoid waste. Donors hate waste.
  24. Technique must never be allowed to obscure sincerity. As all actors know, you can’t fake sincerity.
  25. Fundraisers have to learn to talk to their donors where they are, not where the fundraiser might want them to be.
  26. Fundraisers and donors have a relationship of shared conviction. This is much more important than their shared commercial interest.
  27. Great fundraising means being ‘15 minutes ahead’. To keep just a little bit ahead you have to learn to spot opportunities and take (careful) risks.
  28. Fundraisers should learn the lessons of history and experience. Anyone who would be an effective fundraiser needs first to do some homework.
  29. Always say ‘thank you’, properly and often. And accurately (few things are less forgivable than thanking a donor for something he or she hasn't done). It’s also a good idea to be brilliant at saying ‘welcome!’.
I could go on. Great fundraising also involves being appropriate, engaging people, using technology creatively, patience and, of course, being modest and unassuming!
This list is universal but it is almost certainly not comprehensive and may exclude some important principles that relate particularly to your organisation. Whatever your principles I advise you to capture them: write them down, communicate them to colleagues, trustees, donors and suppliers. And when you prepare a fundraising or marketing plan check how it measures up to your principles of fundraising.
Adapted from Relationship Fundraising by Ken Burnett, published © 2002 by Jossey-Bass Inc (see here). With grateful acknowledgement to the inspirational example set by fundraising pioneer Harold Sumption.

source: http://sofii.org/article/the-essential-foundations-of-fundraising.-twenty-nine-basic-principles-of-our-trade